

Perluasan Jabatan Sipil di TNI Dalam Rangka Atasi Kompleksitas Ancaman Bagi Negara
JAKARTA - Komisi I DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Persatuan Purnawirawan dan Wirakawiri TNI dan Polri (PEPABRI) yang dihadiri oleh Ketua Umum DPP PEPABRI Jend. (Purn). TNI Agum Gumelar beserta jajaran PEPABRI dalam rangka mendengar masukan terkait perubahan UU No. 34 tentang TNI yang dilaksanakan di Ruang Rapat Komisi I DPR, Komplek Parlemen, Senayan, senin (10/3/25)
Terkait revisi UU TNI tersebut, Anggota Komisi I DPR RI Abraham Sridjaja menyatakan bahwa revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mencakup perluasan jabatan sipil bagi anggota TNI harus mendapat pengawasan ketat dari DPR, dimana kebijakan ini harus tetap mengedepankan prinsip meritokrasi dan tidak dilakukan secara sembarangan.
Abraham menjelaskan bahwa tujuan utama revisi ini adalah untuk memperjelas batasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh anggota TNI. Saat ini, ada 10 lembaga sipil, seperti BIN dan BNPB, yang sudah membuka ruang bagi TNI melalui peraturan presiden. Namun, perkembangan ancaman nasional, terutama dalam siber dan ketahanan pangan, membuat perubahan ini semakin mendesak untuk segera dilakukan.
"Salah satu alasan penting di balik revisi ini adalah untuk mengatasi ancaman yang semakin beragam, seperti ancaman siber yang muncul belakangan ini. Sebagai contoh, BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara) yang seharusnya berada di bawah sektor sipil kini melibatkan peran TNI karena semakin kompleksnya ancaman terhadap negara," kata Abraham
Abraham menekankan bahwa penempatan TNI di jabatan sipil harus tetap mengutamakan keahlian dan profesionalisme. Oleh karena itu, pengawasan dari DPR menjadi sangat penting untuk memastikan kebijakan tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya.
"Apa yang harus diperhatikan, harus ada pengawasan dari DPR dan harus sesuai dengan keahliannya," ujar Abraham
Abraham juga menanggapi terkait kekhawatiran bahwa dengan kebijakan ini bisa memicu kecemburuan di kalangan ASN. Menurutnya, hal tersebut seharusnya tidak muncul jika tujuan utama adalah kepentingan negara.
"ASN yang cemburu karena TNI mengisi posisi yang mereka inginkan, padahal negara membutuhkan ketepatan dan kedisiplinan dari TNI, itu tidak nasionalis. Mereka harus berpikir untuk negara, bukan untuk kepentingan pribadi," tegasnya.
Terkait usulan mengenai TNI yang diizinkan untuk berbisnis, Abraham menolak tegas usulan tersebut agar tidak mengalihkan fokus utama dan tugas TNI sebagai aparat pertahanan negara.
"TNI tidak boleh berbisnis. Itu akan merusak fokus dan profesionalisme mereka. Fokus mereka harus tetap pada tugas negara, bukan pada urusan bisnis," katanya.
Meskipun demikian, Abraham juga menegaskan bahwa keterlibatan TNI dalam ketahanan pangan dan sektor-sektor strategis lainnya tetap diperbolehkan, mengingat hal tersebut sudah diatur dalam berbagai regulasi, termasuk operasi militer selain perang, yang mencakup pengamanan objek vital.
Saat ini, proses revisi UU TNI masih dalam tahap pembahasan dengan berbagai pihak, termasuk pakar, purnawirawan TNI, dan pemangku kepentingan lainnya. Abraham berharap revisi ini segera disahkan agar aturan mengenai peran TNI dalam jabatan sipil lebih jelas dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
"Kami harus mempercepat proses revisi ini supaya tidak ada kerancuan dalam pelaksanaannya. Ini penting untuk memastikan bahwa seluruh pengaturan dalam UU TNI menjadi jelas dan dapat diterima dengan baik oleh masyarakat," tutupnya