Soal Kasus Sirkus OCI, Dewi Asmara : Negara Tak Boleh Diam !

  1. Beranda
  2. Berita
  3. KOMISI XIII
Wakil Ketua Komisi XIII, Dewi Asmara saat mengikuti Audiensi dengan Eks Karyawan OCI di Ruang Rapat Komisi XIII, Senayan (23/4)

Soal Kasus Sirkus OCI, Dewi Asmara : Negara Tak Boleh Diam !

Jakarta - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Dewi Asmara mendorong penegak hukum bergerak mengusut dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami oleh eks karyawan Oriental Circus Indonesia (OCI). 

“Kasus Oriental Circus Indonesia harus menjadi titik balik bagi kita semua. Negara tidak boleh diam. Kita punya instrumen hukum nasional dan internasional, tinggal bagaimana kita memastikan implementasinya di lapangan,” kata Dewi kepada wartawan, Rabu (23/4/25).

Dewi mendapat informasi bahwa para eks pemain sirkus OCI telah dirundung eksploitasi seperti praktik kerja paksa, kekerasan, pembatasan kebebasan, diskriminasi, hingga indikasi perdagangan orang. Ia menilai negara harus bertindak tegas agar pelanggaran HAM serupa tidak terjadi di masa depan.

“Kasus OCI menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap pekerja sektor hiburan non-formal, yang kerap beroperasi di luar jangkauan regulasi dan pengawasan negara," ucap Dewi. 

"Ini bukan hanya pelanggaran ketenagakerjaan, tapi pelanggaran HAM yang serius, sekaligus sebagai pembuka kotak pandora terhadap kasus serupa pada industri hiburan, untuk perbaikan regulasi kedepannya," imbuhnya.

Menyikapi permasalahan tersebut, Dewi merekomendasikan langkah hukum progresif guna mendorong pemerintah mengambil langkah konkret atas kasus tersebut. 

Pertama, Dewi mendorong dibentuk Tim Investigasi Independen. Komnas HAM dan Kementerian Ketenagakerjaan diharapkan membentuk tim investigasi bersama untuk menelusuri secara menyeluruh dugaan pelanggaran terkait OCI.

Kedua, Satuan Tugas (Satgas) penegakan hukum perlu turun tangan untuk menangani kasus ini. Menurutnya, Kejaksaan Agung dan Kepolisian perlu membentuk satuan tugas khusus untuk menangani kasus ini, termasuk kemungkinan pelanggaran Undang-Undang (UU) HAM, UU Ketenagakerjaan, dan UU TPPO. 

Ketiga, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diminta harus segera memberikan perlindungan menyeluruh, baik fisik maupun psikologis, kepada para korban, serta bantuan hukum untuk menuntut hak mereka, termasuk ganti rugi dan kompensasi. 

Dewi juga menilai perlu ada pembentukan regulasi khusus sektor hiburan dan industri nonformal lainnya. "Perlu dibuat payung hukum khusus yang mengatur standar kerja, perlindungan pekerja, dan sistem pengawasan di sektor hiburan seperti sirkus dan lainya sebagainya yang cenderung berpindah-pindah lokasi dan mempekerjakan kelompok rentan, termasuk anak-anak," jelasnya.

Disisi lain, Dewi  menyorot bahwa Indonesia sudah meratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 29 tentang Kerja Paksa melalui Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998. Indonesia juga sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 95 tentang Perlindungan Upah melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1957. Berdasarkan Konvensi ILO, segala bentuk kerja yang dilakukan di bawah ancaman, tanpa kesukarelaan, serta disertai pemalsuan dokumen dan pembatasan kebebasan, termasuk dalam kategori kerja paksa.

Selanjutnya, praktik tidak ada upah, pemotongan upah sewenang-wenang, dan pembayaran nontunai yang tidak wajar melanggar ketentuan Konvensi ILO Nomor 95. 

“Jika benar terdapat unsur pemaksaan, kekerasan, dan penyekapan, maka ini bukan hanya kerja paksa, tapi juga bisa masuk kategori perdagangan orang sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007,” tegasnya. 

Lebih lanjut, Dewi juga menekankan pentingnya edukasi dan kesadaran publik tentang hak pekerja dan larangan kerja paksa, khususnya di komunitas hiburan. 

Menurutnya, sosialisasi terhadap aparat penegak hukum juga diperlukan agar mereka lebih siap menangani kasus-kasus eksploitasi di sektor informal. 

Diketahui sebelumnya bahwa sirkus OCI sedang menjadi polemik dan sorotan publik. Para eks pemain sirkusi mengaku selama bekerja mendapat eksploitasi dan penyiksaan. 

Di hadapan Komisi XIII DPR RI, Fifi Nur Hidayah, salah satu korban, mengaku mendapat penyiksaan selama dirinya dilatih sirkus baik oleh OCI atau Taman Safari Indonesia.

Malahan, penyiksaan semakin terjadi ketika Fifi dipindah ke Taman Safari Indonesia sekitar tahun 1980-an. Bukan hanya pukulan, Fifi juga sempat disetrum hingga dipasung akibat pernah kabur namun tertangkap.

Disisi lain, Founder Oriental Circus Indonesia (OCI) dan Komisaris Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, membantah semua tuduhan para eks pemain sirkus. Menurut Tony, pelatihan sirkus memang menuntut kedisiplinan tinggi, namun bukan berarti ada praktik kekerasan atau penyiksaan seperti yang dituduhkan oleh sejumlah pihak.