

Harga Beras Naik ditengah Stok Melimpah, Robert Kardinal; Pemerintah Harus Ambil Langkah Strategis
Jakarta - Kenaikan harga beras di sejumlah wilayah menjadi perhatian serius. Sebab, kenaikan harga beras ini terjadi di tengah stok beras melimpah.
Menyikapi hal ini, Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Partai Golkar, Robert Joppy Kardinal meminta pemerintah melalui Kementerian Pertanian segera mengambil langkah cepat untuk menstabilkan kembali harga beras yang mengalami kenaikan di sejumlah wilayah.
Diketahui, berdasarkan Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) Minggu (29/6/25), rata-rata nasional harga beras medium mencapai Rp 14.073 per kg. Padahal Harga Eceran Tertinggi (HET) beras medium sebesar Rp 12.500 per kg.
Serupa, rata-rata nasional harga beras premium juga di atas HET, yakni mencapai Rp 15.847 per kg. Padahal HET yang ditetapkan sebesar Rp 14.900 per kg. Terpantau, harga beras di sejumlah daerah mendapatkan status waspada, seperti Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, Gorontalo, hingga Papua Barat.
Menurut Robert, kenaikan harga beras di sejumlah daerah ini tidak seharusnya terjadi. Sebab, produksi beras nasional meningkat dan stok beras di Perum Bulog mencapai angka lebih 3 juta ton.
"Rasanya aneh dengan fenomena kenaikan harga beras di sejumlah wilayah, sementara pasokan stok beras di gudang BULOG melimpah. Semestinya dengan produksi beras meningkat seperti ini harga eceran harus stabil setara dengan HET ataupun di bawah HET karena penawarannya melampaui kebutuhan, logika hukum ekonomi sperti itu," kata Robert dalam keterangannya, Minggu (29/6/25).
Ia juga meminta kepada pemerintah melalui Menteri Pertanian, dan institusi terkait seperti Perum BULOG dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) untuk segera mengambil langkah menstabilkan kembali harga beras yang mengalami inflasi di sejumlah wilayah dengan melakukan distribusi beras untuk Stabilitas Pasokan Harga Pangan (SPHP) sehingga dapat menekan lonjakan harga beras.
Menurutnya, hal yang tak kalah penting dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan investigasi lapangan secara detail sehingga dapat mengetahui faktor penyebab utama lonjakan harga beras. Dengan begitu, langkah antisipasi untuk menjawab masalah tepat sasaran.
Disisi lain, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai bahwa kenaikan harga beras saat ini bukanlah anomali. Menurut dia, harga beras di produsen turun, sementara di konsumen naik merupakan fenomena asimetri harga.
Khudori menilai situasi seperti ini terjadi ketika ada gangguan atau masalah dalam pasokan. Dalam situasi normal, asimetri harga biasanya tidak terjadi.
Berdasarkan data BPS, produksi beras Januari-Juni 2025 diperkirakan mencapai 18,76 juta ton. Apabila dikurangi konsumsi selama 6 bulan, Khudori menyebut ada potensi surplus sekitar 3,2 juta ton.