

Atalia Praratya ingatkan Potensi Kecemburuan di Sekolah Rakyat Akibat DTKS-M Tidak Akurat
Jakarta - Komisi VIII DPR RI meninjau Sekolah Rakyat di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, sebagai salah satu model pendidikan inklusif berasrama yang digagas Kementerian Sosial. Dalam tinjauan tersebut, ada sejumlah catatan penting demi keberhasilan program ini sebagai solusi memutus rantai kemiskinan.
“Saya melihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan secara serius, Yang pertama adalah soal DTKS-M (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Mutakhir). Jangan sampai penetapan data yang tidak akurat justru menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat,” kata Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Atalia Praratya dalam keterangannya kepada wartawan usai kunjungan spesifik Komisi VIII DPR RI ke Kabupaten Bekasi, Jumat (11/7/25).
Atalia mengingatkan bahwa keunggulan fasilitas dan kualitas pembelajaran di Sekolah Rakyat justru bisa memicu asumsi negatif jika tidak dibarengi dengan seleksi penerima manfaat yang transparan dan tepat sasaran.
“Sekolah ini luar biasa bagusnya. Jangan sampai masyarakat berpikir lebih baik pura-pura miskin agar bisa masuk ke sekolah dengan fasilitas unggulan seperti ini,” lanjutnya.
Atalia juga menekankan pentingnya keberadaan pendamping sosial dan wali siswa yang berperan aktif dalam mendukung perkembangan anak-anak di Sekolah Rakyat, terutama di tingkat dasar.
“Anak-anak kelas 1 sampai 4 SD itu masih sangat membutuhkan figur pengasuh dan pendamping. Mereka tidak cukup hanya diberi fasilitas, tapi juga butuh perhatian emosional dan penguatan karakter,” ucapnya
Atalia juga mengusulkan agar ke depan pemerintah mempertimbangkan penganggaran khusus untuk pendampingan psikososial anak-anak serta dukungan terhadap keluarga siswa. “Banyak anak dari keluarga kurang mampu yang kehilangan kepercayaan diri. Mereka harus dipulihkan semangat dan keberaniannya agar bisa berkembang maksimal,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ia juga mencatat bahwa sebagian besar Sekolah Rakyat yang saat ini berjalan masih bersifat sementara.
“Saya mendapat informasi bahwa sekitar 100 sekolah rakyat masih berstatus sekolah sementara. Ini perlu percepatan dari sisi pembangunan dan penguatan kelembagaan agar program ini benar-benar berkelanjutan.” jelasnya.
Dengan ini Komisi VIII DPR RI berharap Sekolah Rakyat bukan hanya menciptakan akses pendidikan gratis dan berkualitas, tetapi juga menjadi ruang pembentukan karakter dan kesiapan hidup generasi muda Indonesia.
“Kita ingin anak-anak dari keluarga tidak mampu tidak hanya cerdas secara akademik, tapi juga tangguh, punya keberanian, dan mampu mandiri membangun masa depannya.” pungkasnya.