

Fraksi Golkar Ingatkan Kemelut Permasalahan Tenaga Honorer Harus Segera Diakhiri
Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI Taufan Pawe mengingatkan bahwa kemelut permasalahan tenaga honorer agar segera ada kepastian hukum dan berkeadilan demi menciptakan tata kelola penanganan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Komisi II dengan Menpan-RB dan Kepala BKN di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025, Taufan mengibaratkan permasalahan tenaga honorer sebagai air bah yang sulit dibendung.
Politikus Partai Golkar itu mengonfirmasi bahwa kemunculan banyak tenaga honorer sebagian besar bermula dari inisiatif kepala daerah terpilih yang ingin 'membayar utang budi' kepada orang-orang yang menjadi tim sukses atau tim pemenangan dalam pilkada. Mereka merekrut banyak tenaga honorer yang lambat laun makin banyak dan semuanya menuntut diangkat sebagai PPPK.
"Dalam perjalanan waktu semua ini tidak bisa dibendung: semua tenaga honorer ingin menjadi PPPK," kata Taufan.
Kemenpan-RB dan BKN, menurut Taufan, harus memiliki rencana besar untuk memangkas atau bahkan membendung arus yang sangat dahsyat itu. Namun, di sisi lain, pemerintah tidak boleh memungkiri semangat para tenaga honorer terutama yang telah puluhan tahun bekerja ingin sekali diangkat menjadi PPPK.
"Kita harus memastikan tenaga honorer itu yang berintegritas dan berkompetensi. Kita harus mendapatkan tenaga honorer yang dibutuhkan negara ini. Karena tidak sedikit tenaga honorer--guru/tenaga kesehatan--yang memang berkapasitas," ujarnya.
"Ini menjadi benang kusut yang sulit diurai. Kita tidak boleh padamkan mimpi mereka menjadi PPPK, tapi apakah negara siap. Hulu dan hilirnya masalah ini adalah penerimaan non-ASN dari pemerintah daerah."
Legislator dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II menekankan bahwa harus ada target capaian atas permasalahan PPPK tuntas secara berkepastian hukum dan berkeadilan.
Sumber masalahnya, katanya, memang usulan formasi penerimaan tenaga honorer dari pemerintah daerah. Maka harus ada komitmen bagi daerah untuk menutup formasi penerimaan tenaga honorer dengan diikuti sanksi yang berat, misalnya, pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU).
"Karena, yang minum daerah, yang mabuk pemerintah pusat; yang terima honorer terus daerah, masyarakat menuntut PPPK, yang pusing Kemenpan-RB dan BKN," ujarnya.
"Ini semua harus diakhiri. Tidak bisa tidak. Walaupun lambat, ada kepastian dan kejelasan target capaian kita untuk tata kelola ASN dan non-ASN. Kita harus keluar dari kemelut ini. Komisi II pasti mendukung seperti halnya perencanaan tata kelola birokrasi ke depan."