Komisi XI Terima Aspirasi Perusahaan Induk Bank Perekonomian Rakyat terkait Regulasi OJK

  1. Beranda
  2. Berita
  3. KOMISI XI
Ketua Komisi XI DPR RI Dr. Mukhamad Misbakhun, Foto : TVR Parlemen

Komisi XI Terima Aspirasi Perusahaan Induk Bank Perekonomian Rakyat terkait Regulasi OJK

Jakarta - Komisi XI DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PT Nusantara Bona Pasogit terkait audiensi dalam rangka memberikan penjelasan berbagai permasalahan yang dihadapi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) yang dilaksanakan di Gedung Nusantara I, Senayan, rabu (19/3/25).

Dalam RDPU tersebut, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun, menyoroti keinginan OJK untuk membatasi eksistensi BPR dari sebuah pulau dan provinsi.

“Keinginan OJK untuk menjadikan BPR sebagai unit usaha pembiayaan di tingkat komunitas itu menarik. Tetapi, tidak kemudian melebihi aturan dari perundang-undangan itu,” kata Misbakhun.

Dalam hal ini, Misbakhun memastikan kalau aspirasi BPR NBP akan disampaikan kepada OJK. Ia juga mendorong BPR-BPR untuk melakukan judicial review terhadap sebuah peraturan, jika memang dirasa dirugikan karenanya.

Menurutnya, judicial review akan memberikan posisi hukum yang jelas bagi pelaku industri. Mereka bisa melaksanakan proses tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sebuah UU. Sementara untuk peraturan turunannya, bisa diajukan ke Mahkamah Agung (MA).

“Ini menurut saya menjadi sebuah peluang, apabila terjadi pemahaman yang tidak saling bertemu antara bapak sebagai kelompok kepentingan yang menurut saya, punya kontribusi besar terhadap perekonomian masyarakat kelas bawah, dengan pihak pengatur,” jelasnya.

Diketahui sebelumnya, PT Nusantara Bona Pasogit (NBP) selaku perusahaan induk dari Bank Perekonomian Rakyat (BPR) membahas terkait sejumlah peraturan yang dirasa membebani pelaku BPR, khususnya yang tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

Direktur Utama PT NBP Hendi Aprilianto, mengutarakan salah satu tantangan yang disorot adalah penerapan single presence policy (SPP). Peraturan ini tertuang dalam POJK No. 39 Tahun 2017 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia. Sejatinya aturan ini ditujukan untuk bank umum. Namun, pada akhirnya regulator juga ikut memberlakukannya untuk BPR. Ini yang membuat Hendi dan sejumlah pelaku BPR lainnya merasa kebingungan.

“Peraturan yang ada sekarang hanya berlaku bagi bank umum. Untuk BPR belum ada. Tapi, sekarang itu diberlakukan kepada BPR, dengan aturan (pembatasan) per pulau, dan kurang jelas alasannya. Itu banyak membingungkan BPR-BPR grup,” ujarnya.