

Tanggapi Tarif Bea Impor AS, Prabowo Realistis Ambil Sikap Relaksasi TKDN
Jakarta - Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Rycko Menoza menilai langkah Presiden Prabowo dalam melakukan relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) adalah suatu keputusan realistis dalam rangka menanggapi kebijakan tarif Bea Masuk Impor (BMI) Amerika Serikat terhadap Indonesia sebesar 32 persen.
Sebab, menurutnya, tidak semua barang yang diproduksi dari dalam negeri bisa digunakan untuk produk-produk tertentu.
“Jadi ini ya tantangan mudah-mudahan bisa semakin mendewasakan produk-produk lokal. Terutama kita jangan tergantung dengan pasar Amerika, sehingga ini tantangan kita hdapai bersama,” kata Rycko kepada wartawan usai melakukan pertemuan antara Komisi VII dengan mitra kerja dan stakeholder terkait sawit, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (11/4/25).
Oleh karena itu, meskipun AS memutuskan penundaan kenaikan tarif BMI tersebut hingga 90 hari mendatang, namun hal itu dapat menjadi tantangan untuk Indonesia agar mampu bersaing dengan produksi negara lain, misalnya China, yang berkualitas relatif baik dengan harga lebih terjangkau.
“Jadi, saya kira ini masih berjalan (dinamis). Kita juga akan meminta solusi dari pemerintah. Karena ini kan tentu akan terjadi banyak PHK, karena dengan kondisi sekarang akan banyak perusahaan terkena imbas. Sehingga, kita menunggu bagaimana perkembangan presiden kembali ke Indonesia, sehingga kita berharap ini bisa diatasi secara cepat,” jelas Rycko.
Diketahu bahwa dalam acara Sarasehan Ekonomi yang diselenggarakan pada Selasa (8/4/25) lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan akan mengubah aturan terkait tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Menurut Presiden, kebijakan ini membuat Indonesia menjadi tidak kompetitif dalam lanskap ekonomi internasional.
Secara singkat, di bawah TKDN, produk-produk yang dijual di Indonesia sebagian harus diproduksi di Indonesia. Saat ini, batas minimal yang ditetapkan oleh pemerintah ialah 25 persen. Bahkan, di beberapa produk, seperti kendaraan listrik roda dua, tingkat TKDN ditarget mencapai 80 persen.
Dalam perspektif yang lebih luas, aturan TKDN ini bisa dilihat sebagai hambatan dagang non-tarif (non-tariff barrier/NTB).
Menurut data dari World Bank menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki sejumlah batasan perdagangan, termasuk ketatnya aturan terkait dengan otorisasi, lisensi, perizinan, dan inspeksi untuk kepentingan ekspor impor. Jika dihitung, sejumlah aturan ini menghambat perdagangan dengan nilai sekitar Rp 8 triliun tiap tahunnya.