

Ahmad Labib Tekankan Sinkronisasi, Pembaruan, dan Verifikasi Data Kesehatan dalam Pembahasan RUU Statistik
Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Korlantas Polri, BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan Pusdatin Kementerian PUPR, dalam rangka pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik, yang dilaksanakan di Ruang Rapat Baleg, Komplek Parlemen, Senayan, rabu (30/4/25).
Dalam rapat tersebut, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Ahmad Labib, mengkritisi belum tercapainya prinsip universal health coverage dalam sistem jaminan sosial nasional. Ia menegaskan bahwa banyak masyarakat tidak terjangkau oleh sistem jaminan sosial. Hal itu akibat kekacauan data dan sistem verifikasi yang tidak adaptif terhadap realitas sosial di lapangan.
"BPJS Kesehatan, ini terkait dengan moto universal health coverage, sesungguhnya itu belum sama sekali terealisasi. Karena saya dulu pernah di BPJKD di Jawa Timur, saya tahu persis data kesehatan kita masih semrawut dan banyak sumber data yang harus kita siapkan," kata Labib.
Ia juga menjelaskan bahwa kekacauan data tersebut membuat banyak masyarakat menjadi 'stateless', bahkan di dalam negeri sendiri. Kelompok ini termasuk mereka yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, tidak memiliki identitas resmi, tetapi hidup dalam kondisi terlantar.
"Karena semrawutnya data itu, banyak masyarakat (menjadi) stateless itu tidak hanya di luar negeri. Di dalam negeri pun banyak stateless. Mereka yang T4 alias masyarakat yang terkategori tidak punya tempat, tidak punya tempat tinggal, tidak jelas alamatnya, yang terlantar, terus stateless," ungkapnya.
Lebih lanjut, Anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Golkar itu juga menyoroti sulitnya proses verifikasi data untuk warga dengan kondisi sosial rentan.
"Kami waktu itu banyak menangani mereka dan untuk membuat mereka verified sebagai data peserta jaminan kesehatan dari daerah, itu harus minta disahkan oleh dinas sosial, dibuatkan surat keterangan dan lain-lain. Itu banyak sekali. Tidak mungkin itu masuk di datanya BPJS. Tidak mungkin. Dan data semacam ini masih banyak,” jelasnya.
Bahkan, Labib menjelaskan bahwa sistem klasifikasi sosial-ekonomi saat ini tidak mampu mengakomodasi warga yang mendadak jatuh miskin akibat penyakit kronis, meski secara kasat mata terlihat mampu.
"Mereka yang tiba-tiba jatuh miskin, kalau dari kriteria sosial-ekonomi, itu tidak masuk. Karena rumahnya bagus, ada sepeda motor, ada lantainya itu juga bagus. Tidak masuk kalau dalam kriteria sosial-ekonomi. Tetapi melihat riwayat sakitnya, itu banyak sekali yang mereka sesungguhnya lebih miskin daripada gajinya Rp15 juta misalnya. Tapi punya sakit yang dia harus hemodialisis satu minggu sekali, berarti satu bulan empat kali, ini jauh lebih miskin dari mereka yang punya gaji Rp3 juta tapi sehat,” jelasnya.
Menurutnya, negara harus hadir untuk melindungi kelompok ini, termasuk dalam konteks Pekerja Migran Indonesia di luar negeri.
"Banyak case PMI kawan-kawan saya yang di Malaysia kecelakaan atau sakit, itu tidak punya tempat untuk harus mengadu ke mana mereka, ada yang kecelakaan sampai parah. Untuk pemerintah Malaysia ini baik. Dilayani mereka. Saya tidak melihat kehadiran BPJS di sana. Saya tidak melihat kehadiran negara di sana,” tuturnya.
Oleh karena itu, legislator dapil Jatim X ini menegaskan bahwa cita-cita universal health coverage masih jauh dari tercapai dan akar masalahnya terletak pada kualitas dan cakupan data nasional.
"Ini perlu diperhatikan betul. Jadi cita-cita universal coverage ini belum, masih jauh dari bangkit. Dan ini saya kira juga karena faktor data. Ada data kita yang kriterianya belum terpenuhi,” tegasnya.
Ia pun juga mendukung dimasukkannya pendekatan statistik sektoral dalam revisi UU Statistik, termasuk data riwayat sakit sebagai faktor penting dalam klasifikasi kesejahteraan.
"Untuk kesehatan ada tambah data sektoral, statistik sektoralnya. Apa statistik sektoralnya riwayat sakit. Itu dimasukin. Banyak orang jatuh miskin karena sakit. Membuat mereka tumbuh menengah ke atas saja susah, tapi membuat jatuh miskin cepat sekali,” pungkasnya.