

Nurdin Halid : Seiring Perkembangan Peradaban, Lebih dari 50 persen UU Perlindungan Konsumen Dirubah
Jakarta - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar yang juga merupakan Ketua Panitia Kerja (Panja) Perubahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Nurdin Halid, mengungkapkan bahwa ada banyak hal yang belum terakomodir di dalam UU tersebut. Atas hal itu, Komisi VI menginisiasi untuk melakukan pergantian undang-undang secara substansi.
"Kenapa saya katakan pengganti, bukan revisi. Karena perubahannya lebih dari lima puluh persen. Sehingga saya menilai ini bukan revisi, melainkan pengganti. Banyak hal baru yang akan dimasukan dalam RUU Perlindungan Konsumen ini. Hal itu tentu semata untuk memberikan perlindungan menyeluruh kepada konsumen," kata Nurdin kepada wartawan usai kunjungan kerja Panja RUU Perlindungan Konsumen ke fakultas Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Kamis (15/5/25).
Oleh sebab itu, untuk memperkaya dan melengkapi UU Perlindungan Konsumen yang baru nanti, Lanjut Nurdin, pihaknya menyerap aspirasi dari berbagai pihak, baik itu para ahli hukum dan akademisi dari berbagai universitas, serta praktiksi perlindungan Konsumen di berbagai daerah.
"Dengan banyaknya masukan dari berbagai pihak tadi maka diharapkan akan lebih komprehensif, sehingga akan memperkaya dalam penyusunan naskah akademik dan batang tubuh dari RUU Perlindungan Konsumen itu sendiri," jelasnya.
Nurdin menilai bahwa adanya perubahan sebanyak lebih 50 persen dari RUU ini salah satunya disebabkan karena berkembangnya peradaban. Di mana zaman sudah semakin canggih, khususnya terkait perkembangan teknologi lewat digital, baik itu dalam berkomunikasi, berorganisasi, bahkan bertransaksi.
Adapun salah satu masukan yang berhasil dihimpun oleh Tim Panja RUU Perlindungan Konsumen dari para akademisi dan praktisi tersebut, di antaranya terkait dengan terminologi konsumen. Menurutnya, ada sebagian pihak mengartikan konsumen sebagai pembeli dan pengguna terakhir (tidak menjual barang/jasa tersebut lagi) atau end user.
Hal itu karena jika reseller juga masuk dalam kategori sebagai konsumen maka itu lebih kepada perjanjian Business to Business, bukan produsen ke konsumen.
“Serta banyak lagi masukan yang berhasil dihimpun. Yang pasti semua masukan tersebut tentu sangat bermanfaat dalam memperkaya atau melengkapi RUU tersebut. Sehingga akan tercipta Undang-undang yang benar-benar bisa melindungi konsumen," pungkas Nurdin.