Putusan MK terkait Diskualifikasi Paslon Pilkada Barito Utara, Ahmad Irawan: Terobosan Hukum Baru Beri Efek Jera Pelaku Politik Uang

  1. Beranda
  2. Berita
  3. KOMISI II
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Golkar, Ahmad Irawan

Putusan MK terkait Diskualifikasi Paslon Pilkada Barito Utara, Ahmad Irawan: Terobosan Hukum Baru Beri Efek Jera Pelaku Politik Uang

Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar Ahmad Irawan menanggapi terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap perselisihan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara.

Diketahui bahwa sebelumnya MK mendiskualifikasi semua pasangan calon bupati dan wakil bupati Pilkada Barito Utara karena terbukti terlibat politik uang yang sangat masif sehingga merusak demokrasi di tanah air.

Adapun Pilkada di Barito Utara ini diikuti oleh dua paslon, yakni pasangan Gogo Purman Jaya - Hendro Nakalelo dan Pasangan Akhmad Gunadi Nadalsyah - Sastra Jaya. Diskualifikasi tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang gugatan hasil Pilkada Barito Utara 2024, Rabu (14/5/25).

Irawan mengungkapkan bahwa putusan MK yang mendiskualifikasi seluruh peserta Pilkada seperti yang terjadi di Barito Utara ini merupakan hal yang baru yang dapat dikategorikan sebagai terobosan hukum (breakhthrough) untuk memberikan efek jera kepada pelaku politik uang (money politics).

Bila sebelumnya secara doktriner MK memutus pelanggaran yang sifatnya terstruktur, sistem dan masif (TSM) melalui pendekatan kuantitatif, namun dalam kasus Barito Utara juga dilakukan penilaian atas kualitas pelanggaran atau bobot pelanggaran yang berdampak pada keterpilihan pasangan calon dalam proses pemilihan.

Irawan yakin bahwa MK dalam praktiknya berpegang pada prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal, yakni ‘nullus commodum capere potest de injuria sua propria’.

Artinya tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain.

Prinsip inilah kemudian digunakan MK dalam menjatuhkan berbagai putusan seperti hitungan ulang, pemungutan suara ulang, hingga diskualifikasi pasangan calon.

Namun, dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara, kedua pasangan calon yang bersengketa di MK ini, masing-masing bertindak sebagai Pemohon dan Pihak Terkait diberikan sanksi diskusialifikasi sebagai pasangan calon.

Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Barito Utara selaku Pihak Termohon, diberikan sanksi dan diperintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang. Dengan demikian, para pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut, dalam pandangan MK telah melakukan penyimpangan dan pelanggaran.

"Mau tidak mau dan suka tidak suka apa yang diputus oleh MK harus dianggap benar dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip hukum hukmu al-hakimi ilzamun wa yarfa’u al-khilaf (putusan pengadilan mengikat dan menghilangkan perbedaan) atau putusan MK mengakhiri sengketa hasil pemilihan Barito Utara (res judicata pro veritate habetur),” kata Irawan dalam keterangannya, Kamis (15/05/25).

Irawan berpandangan bahwa terdapat tiga hal pokok yang penting untuk diketahui publik mengenai putusan MK tersebut. Pertama, MK dalam memutus perkara seharusnya tidak hanya mempertimbangkan kepentingan para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian sengketa hasil, namun juga mempertimbangkan kepentingan negara.

Dalam hal ini Pemerintah yang kembali harus mengeluarkan biaya untuk menyelenggarakan pemilihan, dan kepentingan rakyat agar segera terbentuk pemerintahan definitif untuk melakukan pelayanan publiK.

Kedua, pembuktian terjaidnya kejahatan money politic harusnya melalui pembuktian dan melalui proses pemidanaan.

"Melakukan pendekatan administrasi dalam penyelesaian kejahatan pemilu, menilai kualitas kejahatan dan dampaknya tanpa adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht) mengenai kejahatan tersebut menurut saya sangat prematur dan merupakan bentuk prejudice institusi peradilan terhadap proses pemilu dan institusi negara yang terlibat menyelenggarakan dan mengawasi penyelenggaraan pemilu," jelasnya.

Ketiga, lanjut Irawan, perintah pemilihan ulang Bupati dan Wakil Bupati Barito Utara dengan tetap menggunakan daftar pemilih tetap (DPT) yang lama, yang digunakan pada pilkada pertama pada 27 November 2024 lalu berpotensi melanggar hak konstitusional pemilih.

"Daftar pemilih seharusnya dimutakhirkan kembali karena bisa saja ada yang meninggal dunia, ada warga negara yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, terdapat penduduk baru dan yang berpindah, dan sebagainya," lanjutnya.