

Optimalisasi Penerimaan Negara, Perkuat Tata Kelola Tambang Rakyat
Jakarta - Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai kesempatan kerap melontarkan pernyataan praktik tambang ilegal menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, sekurang – kurangnya Rp300 triliun. Berdasarkan laporan yang diterima Presiden, terdapat 1.063 tambang ilegal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Benny Utama mengapresiasi rencana Pemerintah untuk memperkuat tata kelola pertambangan rakyat. Mantan Bupati Pasaman dua periode itu mengatakan transformasi wilayah pertambangan rakyat (WPR) menjadi izin pertambangan rakyat (IPR) merupakan langkah strategis untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat sekaligus menekan praktik penambangan ilegal.
“Kita mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan izin bagi penambangan rakyat sepanjang sesuai aturan sehingga mereka dapat bekerja lebih aman, dampak lingkungan lebih terkendali dan negara bisa memperoleh penerimaan untuk membiayai berbagai program pembangunan,” ujarnya ketika diwawancarai, Selasa (24/9) di ruang kerjanya menyikapi upaya pemerintah untuk membangun tata kelola pertambangan yang berkelanjutan.
Benny menjelaskan pemberian izin pertambangan kepada masyarakat semakin terbuka dengan terbitnya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat Atas Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam undang undang tersebut lanjut Benny, pemberian izin usaha pertambangan khusus (IUPK) diprioritaskan kepada BUMN, BUMD, koperasi, badan usaha kecil dan menengah (UMKM) dan badan usaha yang dimiliki organisasi kemasyarakatan dan keagamaan.
“Nah, ini peluang bagi koperasi desa merah putih yang saat ini terus dibentuk dan diperkuat oleh Pemerintah untuk menggerakkan ekonomi masyarakat di pedesaan. Desa – desa yang punya potensi pertambangan, koperasinya bisa menjadikan itu sebagai salah satu unit bisnis. Karena itu, rekrutmen pengurus koperasi desa merah putih harus selektif untuk memastikan pengurus memiliki visi bisnis yang kuat,” ujarnya.
Benny utama menegaskan tata kelola WPR tidak dapat diselesaikan hanya melalui pendekatan hukum. Maraknya penambangan ilegal selain karena lemahnya penegakan hukum juga menyangkut aspek sosial dan ekonomi masyarakat. “Kita perlu menyeimbangkan kepentingan masyarakat, negara dan lingkungan. Untuk itu, integrasi masyarakat ke dalam skema penambangan yang legal menjadi penting,” tegasnya.
Untuk mengintegrasikan penambangan rakyat dalam skema yang legal, kata Benny, Pemerintah Daerah perlu meninjau kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang eksis saat ini. Hal itu untuk memastikan bahwa WPR yang diusulkan nantinya tidak bertabrakan dengan Peraturan Daerah (Perda) tentang RTRW masing – masing daerah. “Jika belum sesuai tentu harus ada perubahan RTRW. Sepanjang itu untuk kepentingan tata kelola tambang yang adil, berkelanjutan dan demi kesejahteraan masyarakat, perubahan itu dapat dilakukan,” ujarnya.