

Komisi VI DPR Ingatkan BP Batam terkait Transparansi, Kemanusiaan, dan Bahaya Perdagangan Ilegal
Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Labib menegaskan, pengelolaan Badan Pengusahaan (BP) Batam ke depan tidak boleh hanya menitikberatkan pada transformasi ekonomi, melainkan juga harus mengedepankan asas keterbukaan dan kemanusiaan. Menurutnya, perhatian publik terhadap kebijakan BP Batam semakin tinggi, terutama setelah sejumlah proyek strategis, seperti pengembangan kawasan Rempang, memicu protes luas di kalangan masyarakat sipil.
“Batam ini diawasi, bukan hanya oleh masyarakat Batam sendiri, tetapi juga oleh kelompok-kelompok LSM nasional. Karena itu transformasi yang dilakukan BP Batam harus disosialisasikan secara masif agar publik tahu apa perubahan yang sedang dilakukan,” ujar Ahmad Labib dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI dengan Kepala BP Batam di Gedung Nusantara I, Senayan, Rabu (1/10/25).
Labib juga menambahkan, asas kemanusiaan perlu menjadi prinsip penting dalam setiap kebijakan, karena masyarakat menilai pembangunan bukan semata dari angka pertumbuhan, tetapi juga dari dampaknya terhadap kehidupan warga. Hal ini ia sampaikan karena selaras dengan fakta di lapangan.
Sebagai informasi, sengketa lahan di Rempang misalnya, memicu gelombang protes sejak 2023 karena ribuan warga menolak relokasi demi proyek investasi kaca terbesar di dunia. Data berbagai organisasi masyarakat sipil menyebut setidaknya 7.500 warga terdampak kebijakan tersebut.
Protes yang berlarut-larut hingga 2024 memperlihatkan bahwa transparansi dan penghormatan terhadap hak-hak warga menjadi aspek krusial yang tidak boleh diabaikan. Selain soal tata kelola, Labib juga menyoroti persoalan serius lain, yakni Batam sebagai jalur transit barang ilegal.
Labib mengungkapkan, adanya arus barang dari Batam sering dijadikan celah pencucian produk impor yang kemudian beredar ke berbagai wilayah Indonesia seolah-olah legal. “Batam ini menjadi tempat lalu lintas barang ilegal. Nyucinya di Batam, keluar dari Batam seolah-olah legal, padahal sebenarnya melanggar aturan. Barang-barang ini masuk lewat udara, lalu dikirim ke Riau atau daerah lain tanpa izin dan kuota resmi,” katanya.
Kekhawatiran itu tidak tanpa dasar. Berdasarkan data Bea Cukai, penindakan terhadap penyelundupan di Batam meningkat pada 2024. Sepanjang tahun tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat 7.930 kasus penindakan di seluruh Indonesia, dengan kenaikan 6,12 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Batam menjadi salah satu wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi. Pada pertengahan tahun 2024, misalnya, Bea Cukai Batam menyita lebih dari 2,5 juta batang rokok ilegal senilai miliaran rupiah, serta menggagalkan penyelundupan berbagai barang lain mulai dari ponsel hingga narkotika. Badan Pusat Statistik juga mencatat tingginya lalu lintas perdagangan Batam. Pada Desember 2024, nilai ekspor Batam mencapai 1,34 miliar dolar AS.
Arus barang yang begitu besar membuat kawasan ini menjadi pintu strategis bagi perdagangan nasional, sekaligus titik rawan penyelundupan jika tidak diawasi dengan ketat. Menurutnya, praktik ini bukan hanya merugikan penerimaan negara, tetapi juga mengancam petani dan pelaku usaha lokal yang kalah bersaing dengan produk ilegal murah.
Di sisi lain, Labib juga menyampaikan bahwa telah menerima keluhan dari komunitas petani yang produk pertaniannya terdesak oleh barang impor ilegal yang masuk melalui Batam. “Kasihan petani lokal kita. Mereka mengadu ke saya karena produknya kalah bersaing dengan barang-barang ilegal yang ditawarkan secara terbuka. Kalau ini terus dibiarkan, nasib petani kita semakin terjepit,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa BP Batam bersama kementerian terkait harus memastikan arus barang dari Batam ke wilayah lain di Indonesia mematuhi regulasi perdagangan nasional dan internasional. Baginya, pengawasan yang ketat dan sistem yang transparan menjadi kunci agar Batam tidak menjadi titik rawan perdagangan ilegal, sekaligus untuk menjawab kekhawatiran publik terhadap arah pengelolaan kawasan strategis ini.