Dukung Agenda Mitigasi Perubahan Iklim, Firman Soebagyo; Perlu Konversi Sawit Bermasalah ke Tanaman Polonia

  1. Beranda
  2. Berita
  3. KOMISI IV
Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Soebagyo saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi IV DPR RI ke Bontang Mangrove Park, (11/8). Foto: dpr.go.id

Dukung Agenda Mitigasi Perubahan Iklim, Firman Soebagyo; Perlu Konversi Sawit Bermasalah ke Tanaman Polonia

Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI daei Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo mengusulkan agar perkebunan kelapa sawit bermasalah dikonversi menjadi tanaman Polonia yang dinilai memiliki nilai ekonomi tinggi sekaligus berperan besar dalam penyerapan karbon. Hal ini disampaikan Firman saat mengikuti Kunjungan Kerja Reses Komisi IV DPR RI ke Bontang Mangrove Park, Kota Bontang, Kalimantan Timur, Senin (11/8/25).

“Tanaman Polonia ini menarik sekali. Dari sisi ekonomi lebih menguntungkan dibandingkan batu bara, bahkan lebih produktif dibandingkan sawit. Dari sisi lingkungan, kemampuannya dalam penyerapan karbon juga luar biasa. Ini adalah terobosan baru yang perlu kita dorong,” katanya.

Firman menjelaskan, berdasarkan informasi yang disampaikan Gubernur Kalimantan Timur, tanaman Polonia memiliki harga jual per ton yang jauh lebih tinggi daripada batu bara. Dengan itu, menurutnya, konversi lahan sawit bermasalah menjadi Polonia dapat menjadi solusi yang menguntungkan secara ekonomi sekaligus mendukung agenda mitigasi perubahan iklim.

Pada kunjungan tersebut, Firman juga menyoroti pentingnya pelestarian hutan mangrove di kawasan Bontang, yang dulunya memiliki luas hingga 36.000 hektar sebagai warisan Kesultanan setempat, namun kini hanya tersisa separuh. 

“Mangrove adalah paru-paru dunia. Kawasan ini wajib dilestarikan dan bisa dijadikan objek taman wisata yang lebih produktif,” tegasnya.

Meski mengapresiasi keseriusan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menjaga kawasan mangrove, ia menilai kontribusi ekonomi dari sektor ini masih perlu ditingkatkan. Firman mencatat, penerimaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kawasan tersebut baru mencapai sekitar Rp600 juta per tahun. “Mungkin karena fasilitas wisata yang belum maksimal, ini perlu kita dorong perbaikannya,” lanjutnya.

Ia berharap agar kedepannya pengembangan hutan mangrove di Kalimantan Timur dapat dilakukan tanpa memaksakan lahan yang tidak sesuai peruntukan menjadi area pangan. 

“Lebih baik kita kembangkan potensi ekonomi dari sumber daya yang memang cocok, seperti Polonia atau alternatif lainnya yang produktif, bernilai ekonomi tinggi, dan mampu menyerap karbon secara optimal,” pungkasnya.